Pertamanya bingung, mau login saja gemeteran. Kemudian... Terima kasih, Tuhan! Tiket masuk Program Magister sudah di tangan. Tiada henti saya ucapkan syukur kepada-Mu atas restu yang diberikan untuk dapat sekolah lagi.
Gampang.
Banyak orang bilang "Ah S2 di sana gampang, temenku modal duit juga bisa", "Gampang S2 di sana syaratnya formalitas" dan lain sebagainya. Mungkin ada benarnya, saya tidak tau. Mungkin bagi kebanyakan orang memang gampang, tetapi belum tentu bagi saya. Kemampuan seseorang dalam menerima suatu permasalahan itu tidak sama. Saya mengikuti prosedur umum seperti calon mahasiswa lainnya. Sebenarnya gampang itu ketika saya bisa saja minta tolong seseorang untuk langsung menerima saya tanpa syarat, hahahahaha saya tidak seputus asa itu. Ketika saya sudah berniat, pasti saya perjuangkan.
Gampang.
Kalau memang masuknya gampang, apa iya lulusnya gampang? Kalau kita tidak menikmatinya, apa iya gampang? Satu-satunya statement 'gampang' yang bisa saya terima dari senior saya adalah "Kalo seneng ngejalaninnya, asik-asik aja, gampang kok". Sebulan lebih menunggu pengumuman yang diundur dua kali, astaga... menikmati haripun tidak segampang itu. Tidak bisa tidur sampai ajakan sahur, saat tertidur malah memimpikan gunung meletus. Pernah mendengar kalimat bijak 'Semua telah diketahui kecuali cara untuk bertahan hidup'?
Saya bukan orang yang biasa mendapatkan sesuatu secara gampang. Kalau kalian (ingin) tau, perjalanan saya selama 24 tahun ini ya gitu. Benar, orang lain hanya mengomentari hasil tanpa peduli prosesnya. Memang, tidak ada kewajiban bagi mereka untuk mengetahui apa yang terjadi dengan hidup saya karena 'tugas' mereka hanyalah menilai dari apa yang dilihat.
Orang lain tidak tau (mungkin tidak ingin tau juga) usaha saya bolak-balik Jakarta dan Jogjakarta yang cukup menguras tenaga dan uang. Mereka hanya tau saya kesana-kemari hanya untuk bervakansi. Orang lain tidak tau (mungkin tidak ingin tau juga) berapa kali saya gagal dan menghabiskan lumayan biaya hanya demi mengulang tes persyaratan masuk S2. Mereka hanya tau kalau kerjaan saya guling-guling di atas kasur setiap hari, ya mungkin memang juga hehehe. Orang lain tidak tau (mungkin tidak ingin tau juga) apa alasan saya berlama-lama di Jogjakarta. Mereka hanya tau saya sebagai pengangguran yang tidak berusaha apa-apa. Mereka tidak tau berapa buku yang saya pakai untuk latihan, waktu berapa kali berapa puluh menit yang saya habiskan untuk mengerjakan berbagai jenis soal, bagaimana perasaan orang tua dan mas saya yang dikorbankan demi melampiaskan amarah saya. Orang lain hanya tau kalau hidup saya selama ini enak-enak saja.
Orang lain hanya tau keluarga saya 'mampu' menyekolahkan anak-anaknya dengan biaya mandiri. Mereka tidak tau kami pernah ditolak di sekolah swasta karena tidak dapat membayar uang pangkal. Orang lain hanya tau keluarga saya 'mampu' untuk membeli tiket perjalanan berkali-kali. Mereka tidak tau kami berkali-kali jalan kaki entah karena angkot mogok beroperasi atau karena dirasa tidak begitu perlu menggunakan kendaraan. Orang lain hanya tau keluarga saya 'mampu' untuk membantu yang kesusahan. Mereka tidak tau bahwa kami bukan yang berkelimpahan harta sampai bingung menghabiskannya tetapi kami tau rasanya ditolong dan tidak ditolong.
Beasiswa? Saya merasa tidak cukup pantas untuk mendapatkannya. Bukan saya sombong, saya ingin tapi saya tau batas kemampuan saya. Saya juga sebenarnya tidak bodoh, pas-pasan. Akademik saya pas-pasan kok, percaya diri saya juga pas-pasan. Waktu SD dan SMP hanya berantusias ketika jam pelajaran bahasa, kesenian atau olahraga. Saya benci matematika. Waktu SMA saya mulai suka mata pelajaran Kimia dan masuk jurusan IPA meskipun saya juga tidak katam sekali. Sampai akhirnya saya 'kecemplung' dan harus berenang di pendidikan apoteker dari nilai jeblok sampai tertarik melanjutkannya.
Kembali ke fokus awal. Sekolah lagi? Mengapa tidak?
Sebenarnya alasan saya memutuskan untuk sekolah lagi (di sana) bukan itu, bukan karena yang katanya gampang. Alasan saya yang pertama adalah karena bapak ibu. Kota ini menyatukan kami, bapak dan mas melanjutkan sekolah di sini. Diputuskan mengontrak rumah di sini, masa iya ngekost sendiri-sendiri? Mau tidak mau, ibu sibuk bolak-balik. Orang lain tidak tau betapa pusingnya mengontrol dua rumah. Mereka tidak tau betapa kerasnya usaha orang tua saya yang tetap bekerja sembari menyelesaikan studi setelah masa pensiunnya, begadang terkantuk-kantuk lewat tengah malam untuk saling menemani. Dengan usia mereka yang semakin bertambah, kesehatan yang kadang terganggu karena kelelahan, saya sangat ingin membantu keluarga ini yang Puji Tuhan selalu dicukupkan. Tetapi? Bapak ibu masih ingin kami (saya dan mas) untuk sekolah lagi sebelum berkarir. Ini saatnya bapak ibu menikmati hasil jerih payah mereka. Bisa menyekolahkan anak-anak mereka sampai jenjang yang tinggi, kalau bisa lebih tinggi lagi. Kata bapak, pendidikan kami itu penting agar bisa survive di dunia yang terus berkembang. Bapak ibu ingin anak-anaknya berhasil, 'naik kelas'. Selagi mampu mendanai, sekolah lagi, mengapa tidak?
Setelah mendaftar, awalnya saya takut. Saya kurang yakin dengan kemampuan saya sendiri. Tetapi teman saya sewaktu kuliah bilang "Ngapain takut, Ras? Kan udah usaha tinggal berdoa aja. Keputusanmu buat lanjut kuliah itu udah nunjukkin kalo kamu berani". Menurut saya itu keren sekali, membuat semangat saya meluap untuk selalu berpikiran positif, saya bisa.
Alasan saya berikutnya, yang baru-baru ini terlintas adalah karena saya perempuan. Saya ingin pendidikan saya tinggi dan tidak dipandang sebelah mata. Saya ingin memiliki bekal bakal pekerjaan saya nanti dan bermanfaat meskipun hanya sebesar biji sesawi. Saya ingin membawa pengaruh yang baik bagi banyak orang. Saya ingin membanggakan orang-orang yang telah memberikan restu dan dukungan pada saya. Memang pengalaman saya sangatlah kalah dibanding teman-teman yang sudah memiliki penghasilan, saya bangga pada mereka tentu saja. Jujur, saya juga ingin seperti mereka. Tetapi saya harus bisa melakukan hal lain. Ibu bilang bahwa berbeda tidak selalu buruk, seperti anak panah, tidak apa sedikit lebih mundur agar dapat melaju lebih cepat. Ada benarnya, kalau saya memutuskan untuk bekerja dahulu, bisa saja saya terlalu asik berpenghasilan dan tidak mau lanjut sekolah padahal banyak orang yang ingin memiliki peluang seperti saya, mengapa saya harus tidak mau? Pada era global ini, persaingan (sehat) perlu kan? Kalau orang bisa bekerja saat ini, mengapa saya tidak bisa sekolah pada kesempatan ini? Toh, pada akhirnya kami bermutualisme, bertukar ilmu itu baik, bukan? Masalah karir kami pasti ada masanya, ada waktunya. Tuhan sudah siapkan 'jatah' kami. Saya yakin Tuhan tidak pernah terlalu cepat atau terlalu lambat.
Ya... berpanjang lebarpun orang tidak peduli. Terkadang kita perlu menutup telinga untuk bisa mendengarkan apa kata hati sendiri, biarlah pilihan kita yang menentukan hidup kita. Seperti nasihat yang tante saya berikan, tetapi Tuhanlah pemilik segala ilmu sehingga doa, belajar dan kerja keras yang menjadi strategi untuk mencapai harapan yang sesuai dengan keinginan.
Sekian.